Ini Bukti Dedolarisasi dan Deglobalisasi AS Makin Nyata

The rising full moon shines behind the Statue of Liberty, Monday evening, March 9, 2020, in New York City. (AP Photo/J. David Ake)

  • Banyak negara kini mengurangi eksposure terhadap dolar AS dan meningkatkan pemakaian mata uang lokal untuk transaksi internasional
  • Proporsi dolar AS dalam cadangan devisa global serta kepemilikan surat utang AS semakin berkurang
  • Banyak negara yang mulai tidak mendengarkan AS dalam percaturan politik global

Status Amerika Serikat (AS) sebagai negara paling super power kini terancam. Senjata utama Paman Sam yakni dolar AS bahkan mulai ditinggalkan banyak negara.

Keperkasaan dolar AS yang sudah berlangsung sejak 1920an atau lebih dari 100 tahun kini mulai terancam. Banyak negara yang ingin terlepas dari “penjajahan” King Dolar.

Tak kurang dari China, Brasil, India, Meksiko, hingga Indonesia kini malah gencar mengurangi eksposure dolar AS.

Perlawanan mengurangi dolar bahkan sudah dimulai sejak awal 2000an oleh tetangga terdekat AS mulai dari Peru, Bolivia, Paraguay, hingga Argentina.

Brasil menjadi negara di Amerika Latin yang paling getol mengurangi dolar AS.

Bersama BRIC (Brasil, India, Rusia, China, dan Afrika Selatan), Brasil mulai mengindikasikan pembentukan mata uang baru. Uang ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang.

Brasil dan China pada akhir Maret 2023 juga membuat kesepakatan untuk ‘membuang’ dolar dalam transaksi perdagangan mereka.

Kesepakatan tersebut bernilai sangat besar mengingat total perdagangan kedua negara menembus US$ 171,49 miliar. Artinya, ada permintaan dolar sebesar US$ 171 miliar yang hilang dalam perdagangan global.

Kesepakatan tersebut jelas sebuah kemenangan bagi kampanye China dalam menginternasionalkan mata uang renminbi/Yuan.

Selain dengan Brasil, Tiongkok juga tengah merayu Arab Saudi untuk menggunakan mata uang Yuan untuk membeli minyak.

The Wall Street Journalmenulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan dengan Beijing kian gencar.

Jika kerja sama ini disepakati maka diperkirakan bisa menggerus permintaan dolar AS lebih dari US$ 10 miliar. Kontrak Saudi Aramco dengan perusahaan China terkait penjualan minyak diperkirakan mencapai US$ 10 miliar.

India, ASEAN, hingga Indonesia juga tidak ketinggalan mulai mengurangi proporsi penggunaan dolar dalam perdagangan.

India mengeluarkan kebijakan baru untuk semakin meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangan mereka sejak April 2023.

India juga menjalin kesepakatan dengan negara lain seperti Malaysia untuk menggunakan mata uang masing-masing dalam transaksi perdagangan.

Indonesia dan negara-negara ASEAN juga mulai meningkatkan penggunaan mata uang masing-masing melalui local currency transaction (LCT).

Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina telah meneken kerjasama transaksi pembayaran lintas batas melalui kode QR, fast payment, data, hingga transaksi mata uang lokal.

Indonesia sudah menandatangani kerangka kerja sama penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS) dengan sejumlah negara.

Di antaranya adalah Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan.

Fenomena ‘buang dolar’ bahkan sampai membuat Dana Moneter Internasional (IMF) memberi catatan khusus. Pada Mei 2021, IMF mencatat jika permintaan atas dolar AS oleh bank sentral dunia anjlok ke level terendah dalam 25 tahun.

Komposisi dolar AS dalam cadangan devisa (cadev) global menurun dari 71% pada 1990an menjadi 59% pada Mei 2021.
Angkanya bahkan menurun drastis menjadi 58,36% per akhir 2022.

Per akhir 2022, cadangan devisa di seluruh dunia menyentuh US$ 11,09 triliun.  Dari jumlah tersebut, mata uang berdemoniasi dolar AS mencapai US$ 6,47 triliun.

Di bawah dolar AS terdapat euro dengan share sebesar 20,47% kemudian menyusul yen Jepang (5,51%) dan poundsterling (4,95%).

Renminbi China yang digadang-gadang akan menggantikan ‘King Dolar’ hanya memiliki share 2,69%.

Cadangan devisa dalam denominasi euro setara dengan US$ 2,27 triliun sementara dalam bentuk renminbi China setara dengan US$ 298,44 miliar.

Share dolar AS terhadap cadangan devisa global diperkirakan akan terus melandai. Salah satunya adalah karena semakin banyak bank sentral yang lebih memilih menumpuk cadev dalam bentuk emas.

Survei yang dilakukan World Gold Council pada Juni 2022 menunjukkan jika 80% dari 57 bank sentral dunia akan meningkatkan cadangan emas mereka beberapa tahun ke depan.

Sebanyak 42% mengatakan mereka akan mengurangi proporsi dalam selama lima tahun ke depan.

Data World Gold Council menunjukkan pembelian emas oleh bank sentral dunia menembus 1.136 ton pada 2022. Jumlah tersebut melonjak 152% dibandingkan 2021 dan menjadi yang tertinggi sejak 1967 atau 55 tahun terakhir.

Selain dolar AS, semakin banyak pula negara yang mengurangi kepemilikan  surat utang pemerintah AS mereka.

Berdasarkan data dari Treasury International Capital (TIC) Kementerian Keuangan AS, pada November 2022, China menjual US$ 7,8 miliar Treasury yang dimiliki sehingga kini menjadi US$ 870 miliar.

Nilai kepemilikan surat utang Amerika Serikat tersebut menjadi yang terendah sejak Juni 2010.

Penjualan tersebut dilakukan nyaris sepanjang tahun lalu, sebelum sebelumnya Treasury yang dijual sebesar US$ 24 miliar. Pada Juli 2022 lalu, untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir kepemilikan Treasury China turun ke bawah US$ 1 triliun.

Aksi jual tersebut dimulai sejak 2017, ketika adanya perang dagang melawan Amerika Serikat. Sanksi yang diberikan Amerika Serikat dan Eropa kepada Rusia yang memulai perang di Ukraina semakin menguatkan niat China untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

Semakin banyak surat utang yang dijual maka harganya akan turun sehingga yield atau imbal hasil. Pemerintah AS pun mesti membayar bunga yang lebih mahal kepada yang membeli surat utang AS.

Tak hanya di sektor ekonomi, kedigdayaan Negara Paman Sam di bidang politik juga mulai dipertanyakan.

Sekutu-sekutu terdekat mereka bahkan sudah berani menyuarakan perlawanan.

Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan lantang menyuarakan agar negara Eropa  melepaskan ketergantungan terhadap pengaruh AS.

Berbicara kepada wartawan dari Les Echos dan Politico, Minggu (9/4/2023), Macron mengatakan Eropa harus menjadi kekuatan ketiga dalam tatanan dunia, bersama dengan AS dan China.

Macron menyampaikan hal tersebut setelah bertemu dengan Presiden China Xi Jinping dalam lawatannya ke Beijing, pekan lalu.

Sekutu terdekat AS di Timur Tengah, Arab Saudi juga sudah menunjukkan perlawanan.

Arab Saudi dan Iran bulan lalu setuju untuk membangun kembali hubungan diplomatik penuh setelah sekitar delapan tahun terputus. Normalisasi ini ditengahi oleh China.

Kesepakatan ini tentu saja seperti pukulan keras bagi AS yang sangat anti Iran.

Salah satu dekat AS lain Jerman juga melakukan langkah yang tidak biasa. Pada November 2022, Kanselir Jerman Olaf Scholz melakukan kunjungan Beijing.

Olaf menjadi pemimpin negara G-7 pertama yang berkunjung ke China dalam tiga tahun.

Kunjungan tersebut adalah upaya Jerman dalam meningkatkan hubungan ekonomi dengan China. Investasi perusahaan Jerman di China bahkan mencapai rekor pada tahun lalu.

Pada semester I-2022, investasi perusahaan Jerman di China menembus 10 miliar euro.

Olaf juga membuat langkah tidak populer dengan mendorong pembelian saham Hamburg port terminal oleh China Ocean Shipping Co (COSCO).

Olaf bahkan tidak mendengarkan keberatan Negara Barat. Termasuk di dalamnya AS yang berharap  pembelian dibatalkan.

COSCO akhirnya diizinkan membeli saham tapi hanya 25%, dari 35% yang diusulkan.

Perang Rusia-Ukraina juga menunjukkan betapa banyak negara kini sudah mulai tidak mendengar AS dan Negara Barat.

Saat Negara Barat menjatuhkan embargo pembelian batu bara dari Rusia, negara-negara lain seperti India malah meningkatkan pembelian batu bara Rusia.

Hal ini membuat embargo kurang efektif karena penerimaan Rusia tetap mengalir dari berbagai negara.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*